x

Tolak Tambang Raja Ampat, Rajo Ameh ; “Suara dari Bangka Belitung”

5 minutes reading
Saturday, 7 Jun 2025 18:19 1 269 BeltimNyamanBekawan

Manggar | Belitung Timur | Bangka Belitung | BeltimNyamanBekawan.Com | ArtaSariMediaGroup ~ Aktivitas tambang nikel yang bersentuhan langsung dengan kawasan wisata surga dunia mendapat berbagai tanggapan di berbagai belahan bumi Indonesia, termasuk dari Bangka Belitung.

Dari Bangka Belitung, “Kami turut bersuara agar aktivitas penambangan nikel yang bersentuhan langsung dengan kawasan wisata Raja Ampat untuk segera dihentikan karena akan merusak struktur tanah dan ekologi di kawasan pantai maupun laut disekitarnya,” demikian Rajo Ameh panggilan akrab dari Rizal Tanjung B.Sc St. Rajo Ameh yang berasal dari Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Menurut pria yang berdarah campuran Pariaman dan Solok bercampur Bombay India ini mengatakan rasanya kurang etis lah kegiatan tersebut, bisa saja kegiatan itu ada disaat Kawasan Wisata Raja Ampat sudah benar-benar tertata rapi dan bisa dipisahkan mana lokasi wisata dan mana lokasi tambang dan dicarikan solusi terbaik agar keduanya bisa berdampingan tapi tidak serta merta seperti sekarang ini,” ujarnya.

“Kegiatan aktivitas tambang di Raja Ampat bisa mematikan kehidupan UMKM pariwisata disana dimana sudah terbangun dan mendapat dukungan dari Menteri Pariwisata sejak dulunya,” ungkapnya.

“Saya berharap, Negara bisa hadir dalam permasalahan ini dan menyelamatkan yang sudah ada berupa pariwisata Raja Ampat yang sudah dikenal seantero dunia itu, “Mari kita berpikiran jernih, jika dalam masalah ini berbagai menteri terkait tidak bersuara maka bisa jadi seluruh daerah pariwisata akan terancam nasibnya seperti Raja Ampat,” tutup Rajo Ameh.

DPR Desak Evaluasi Tambang Nikel Raja Ampat

See also  Mungkinkah Kamu Mengidap AvPD? Jika Merasa Takut Berinteraksi

KETUA FRAKSI PARTAI GERINDRA DPR RI, Budisatrio Djiwandono mendesak pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Ia menegaskan bahwa langkah ini dilakukan demi mencegah kerusakan lingkungan di lima pulau kecil yang menjadi titik tambang nikel.

“Tentu kami di Fraksi Gerindra DPR RI akan mengkaji isu ini secara lebih seksama, dan mendorong evaluasi menyeluruh mulai dari aspek perizinan, dampak lingkungan, keberlangsungan hidup masyarakat lokal, hingga kepatuhan terhadap prinsip keberlanjutan, serta undang-undang yang berlaku,” ujar Budisatrio, dalam keterangan tertulis, Jakarta, Kamis, 5 juni 2025.

Lanjutnya, Ia mengatakan jika Hilirisasi nikel memang masuk dalam industri strategis nasional, namun bukan berarti bisa dijalankan dengan mengabaikan aspek ekologi dan sosial. Terutama di wilayah konservasi seperti Raja Ampat, setiap aktivitas tambang harus tunduk pada prinsip keberlanjutan.

Meski Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (UU PWP3K) membuka ruang pengecualian bagi pertambangan di pulau kecil, aturan ini mengikat secara ketat—dengan syarat wajib melindungi lingkungan, menjaga tata air, dan menerapkan teknologi ramah lingkungan.

“Pengecualian itu memang diatur, tapi harus dibuktikan bahwa seluruh persyaratannya benar-benar dijalankan di lapangan. Saat ini kami menunggu hasil verifikasi dari Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup yang tengah melakukan evaluasi teknis di area pertambangan di lima pulau tersebut,” lanjutnya.

Budisatrio menegaskan bahwa Raja Ampat memiliki nilai ekologis dan ekonomi strategis yang tidak tergantikan. Ia menggarisbawahi bahwa kawasan ini merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia, rumah bagi lebih dari 1.500 spesies ikan dan 500 spesies karang, serta menjadi bagian dari Coral Triangle yang diakui secara global.

See also  Jika Kalah dari Bahrain & China Lalu Gagal ke Piala Dunia 2026, Rizal Tan ; "Silahkan Patrick Kluivert Pulang Kampung"

Selain menjadi pusat biodiversitas, menurut Budisatrio, Raja Ampat juga memiliki potensi luar biasa di sektor ekowisata berbasis masyarakat, penelitian kelautan, dan konservasi lingkungan yang berkelanjutan.

“Kami memahami pentingnya hilirisasi nikel sebagai bagian dari agenda pertumbuhan ekonomi nasional. Namun Raja Ampat juga tidak bisa dilihat semata-mata dari kacamata industri ekstraktif. Ada nilai ekologis, sosial, budaya, dan ekonomi jangka panjang yang jauh lebih besar jika kawasan ini dikelola secara bijak. Nilai-nilai ini juga harus kita perjuangkan,” paparnya.

Lanjut Budisatrio, berkomitmen penuh untuk menjaga kelestarian Raja Ampat sebagai bagian dari tanggung jawab merawat warisan hayati bangsa. Ia menegaskan bahwa kebijakan industri di kawasan dengan nilai ekologis tinggi seperti ini harus melalui proses evaluasi yang ketat oleh pemerintah pusat dan daerah, dengan pengawasan dari DPR, serta pelibatan aktif masyarakat setempat.

“Kami menghimbau semua pihak, baik pemerintah, pelaku usaha, hingga masyarakat sipil, untuk bahu membahu menjaga Raja Ampat sebagai aset ekologis dan kebanggaan bangsa,” tutupnya.

Janji Devisa Hilirisasi: Realistis atau Sekadar Ilusi?
Di tengah tekanan geopolitik dan membengkaknya defisit perdagangan Indonesia yang menembus USD14,6 miliar, pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bahwa sektor energi dan mineral bisa menyumbang devisa USD10–14 miliar tanpa ubah regulasi, menjadi headline kontroversial di pasar.

Pasar menilai pernyataan tersebut ambisius. Namun bagi Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), target tersebut sebenarnya bukan omong kosong.

See also  Profil Setia Budi Tarigan, Diduga Orang Tua Penabrak Mahasiswa UGM

“Potensi sektor ESDM kita besar. Kalau hilirisasi dilakukan secara serius, ini bisa jadi mesin devisa yang jauh lebih kuat dibandingkan ekspor ke AS,” ujarnya kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Sabtu, 19 April 2025.

Menurut Fahmy, pengalaman hilirisasi nikel seharusnya jadi bahan refleksi, bukan sekadar catatan masa lalu. Ia menilai kebijakan itu saat diluncurkan terlalu tergesa-gesa.

“Begitu ekspor nikel dilarang, pemerintah dorong smelterisasi. Tapi waktu itu belum siap—teknologi belum ada, investor belum datang. Akhirnya yang datang duluan China,” katanya.

Masalahnya, lanjut Fahmy, smelter-smelter yang dibangun justru mengandalkan teknologi rendah dengan fasilitas fiskal berlimpah, tanpa transfer nilai tambah berarti ke Indonesia.

“Yang untung ya China. Kita hanya jadi penonton di negeri sendiri, sementara alam kita yang rusak, teknologi tidak berkembang, dan produk hilir pun masih mentah, hanya level 1-2,” ujarnya.

Hilirisasi yang Menyentuh Ekosistem, Bukan Sekadar Produksi
Fahmy menegaskan bahwa hilirisasi yang ideal harus menghasilkan dua output utama: peningkatan nilai tambah dan terbentuknya ekosistem industri nasional.

“Jangan berhenti di smelter. Produk hilir harus menjadi bagian dari industri lain—misalnya baterai masuk ke industri kendaraan listrik. Tanpa rantai yang menyambung ini, ya kita cuma jadi penyedia bahan setengah jadi,” tegasnya.

Menurut Fahmy, hilirisasi seharusnya diarahkan untuk memperkuat struktur industri dalam negeri, bukan hanya mengejar angka devisa jangka pendek.

“Jangan ulangi pola lama: tambang digali, diekspor, kita cuma dapat limbah dan kerusakan lingkungan. Kalau hanya begitu, USD14 miliar itu sekadar mimpi di siang bolong,” tutupnya. | BeltimNyamanBekawan.Com | KabarBursa | *** |

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

x