x

Kisah Warga Malaysia Minta Gabung ke RI

4 minutes reading
Tuesday, 26 Aug 2025 20:50 1 121 BeltimNyamanBekawan

Manggar | Belitung Timur | Bangka Belitung | BeltimNyamanBekawan.Com | ArtaSariMediaGroup ~ Sebuah fenomena unik mencuat dari negeri jiran, Malaysia. Sejumlah warga di kawasan perbatasan dilaporkan mengajukan keinginan untuk bergabung menjadi warga negara Indonesia (WNI). Alasan yang dikemukakan pun tak sekadar ekonomi atau administratif, melainkan dorongan emosional dan kecintaan terhadap Indonesia sebagai tanah air yang dianggap lebih “dekat” secara budaya maupun kehidupan sosial.

Dalam wawancara yang dilakukan oleh media lokal, beberapa warga asal negara bagian Sabah dan Sarawak menyatakan ketertarikan mereka terhadap sistem pemerintahan, budaya lokal, serta keramahan masyarakat Indonesia yang mereka rasakan saat berinteraksi di wilayah perbatasan. “Kami merasa lebih nyaman dengan komunitas di Kalimantan Utara. Kami punya keluarga, bahasa yang sama, bahkan tradisi yang mirip,” ujar Muhammad Firdaus, warga dari Tawau, Sabah, kepada The Borneo Voice, Senin (25/8/2025) lalu.

Pernyataan Firdaus bukanlah hal yang baru. Hubungan antara masyarakat di wilayah perbatasan Kalimantan dan Malaysia Timur memang telah lama terjalin erat. Banyak warga di kedua sisi perbatasan memiliki garis keturunan yang sama dan menjalankan kehidupan lintas batas, baik untuk berdagang, berobat, hingga bersekolah.

Keinginan bergabung menjadi warga Indonesia, menurut Firdaus, bukan sekadar romantisme identitas, tetapi juga bentuk harapan akan masa depan yang lebih inklusif. “Kalau kami diberi kesempatan, kami siap menjadi warga negara Indonesia yang setia, menjunjung Pancasila dan UUD 1945,” imbuhnya.

Respons Pemerintah Indonesia

Menanggapi kabar tersebut, Rajo Ameh menyatakan bahwa setiap permintaan perubahan status kewarganegaraan harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku, termasuk proses naturalisasi. Di sisi lain disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia sangat menghormati kedaulatan negara lain dan tidak akan mengambil langkah tanpa konsultasi dan kerja sama dengan pihak Malaysia,” demikian Rajo Ameh alias Alizar Tanjung BSc Mi St. Rajo Ameh.

See also  Miss Indonesia | Finalis Asal Papua Pegunungan Merince Kogoya Dicoret

“Indonesia memegang prinsip non-intervensi dan menjunjung tinggi kedaulatan negara sahabat. Jika ada permintaan individual, hal itu dapat diproses melalui jalur hukum sesuai UU Kewarganegaraan,” sambungnya.

Pemerintah Malaysia Angkat Suara

Di sisi lain, Pemerintah Malaysia menyatakan akan menyelidiki laporan tersebut dan memastikan tidak ada pelanggaran hukum di wilayah perbatasan. “Kami akan pelajari motivasi warga tersebut. Kami percaya bahwa identitas nasional Malaysia tetap kuat,” seperti dikutip dari The Star.

Disisi lain, pentingnya pembangunan wilayah perbatasan yang lebih inklusif agar tidak ada kesenjangan sosial yang menyebabkan warganya merasa “terpinggirkan”.

Perspektif Akademik dan Budaya

Fenomena ini juga menarik perhatian para akademisi. Peneliti dari LIPI, Dr. Niken Rarasati, menilai bahwa kedekatan budaya dan hubungan historis antar masyarakat perbatasan membuat batas negara menjadi konsep administratif yang kerap tak sejalan dengan realitas sosial.

See also  Bunda PAUD Beltim Vivi Muten ; "Kita Digerakkan Oleh Cinta & Kasih Sayang"

“Keinginan semacam ini tidak bisa dianggap sepele, namun juga tidak serta merta menjadi persoalan geopolitik. Ada dimensi budaya dan kesejahteraan yang perlu diperhatikan,” jelasnya.

Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Hikmah Tanjung, menambahkan bahwa fenomena ini dapat menjadi cerminan tantangan pembangunan di wilayah perbatasan. “Ini sinyal bahwa negara perlu lebih hadir di perbatasan. Baik Indonesia maupun Malaysia harus menjadikan ini sebagai pelajaran penting,” ujarnya.

Meski hingga kini belum ada keputusan resmi dari kedua pemerintah terkait keinginan segelintir warga Malaysia tersebut, fenomena ini membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai identitas, kesejahteraan, dan keterikatan emosional masyarakat terhadap negara.

Bagi sebagian orang, tanah air bukan hanya tempat lahir atau dibesarkan, tapi juga tempat di mana mereka merasa diterima, dihargai, dan dicintai.

Dikutip dari CNBC Indonesia, Selama 8 dekade lalu, Indonesia dan Malaysia nyaris bersatu di bawah satu pemerintahan dengan nama Negara Indonesia Raya. Namun rencana itu kandas padahal warga Malaysia sudah mengibarkan bendera Merah Putih.

Begini cerita.

Pada 12 Agustus 1945, tiga tokoh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat, dipanggil ke Dalat, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Terauchi. Pemimpin militer Jepang di Asia Tenggara itu menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.

Dalam perjalanan pulang, rombongan Soekarno singgah di Singapura dan melanjutkan ke Taiping, Perak, guna bertemu tokoh nasionalis Melayu Ibrahim Yaacob dan Burhanuddin Al-Helmy. Keduanya adalah pemimpin Kesatuan Melayu Muda (KMM) dan Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung (KRIS) yang berjuang membebaskan Malaya dari Inggris.

See also  Rajo Ameh ; "Pekan Raya Manggar Anak Yang Hilang Entah Kemana"

Pertemuan tersebut melahirkan gagasan Negara Indonesia Raya, yang mencakup Indonesia, Malaya, Singapura, Brunei, dan Kalimantan Utara. Menurut peneliti Graham Brown dalam risetnya tahun 2005, ide ini lahir dari kolaborasi tokoh lokal dengan Jepang.

Dalam kesempatan itu, Soekarno mengatakan: “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka yang berdarah Indonesia.”

Ibrahim Yaacob pun menjawab: “Kami orang Melayu akan setia menciptakan tanah air dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka.”

Namun, rencana penyatuan itu tidak mendapat persetujuan penuh. Sejarawan Boon Kheng Cheah menulis dalam Red Star Over Malaya (1983), ada kemungkinan Mohammad Hatta dan tokoh lain menolak ide persatuan tersebut.

Tak lama berselang, Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Situasi itu mendorong golongan muda di Jakarta mendesak proklamasi kemerdekaan segera dilakukan. Setelah drama Rengasdengklok, Indonesia akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945, lebih cepat dari rencana Jepang.

Sejak saat itu, gagasan Indonesia Raya pun kandas. Ibrahim Yaacob harus mengubah arah perjuangannya, sementara Malaysia baru meraih kemerdekaan 12 tahun kemudian, tepatnya pada 31 Agustus 1957. | BeltimNyamanBekawan.Com | */CNBC | *** |

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

x